Dalam bentangan sejarah, selain dikenal sebagai sosok pemberani, Umar juga mempunyai wibawa yang luar biasa. Mereka yang mengenal Umar akan merasa lebih gentar berhadapan dengannya dibandingkan dengan orang yang belum mengenalnya. Kenyataan ini membuktikan, kehebatan Umar mampu merasuk ke dalam jiwa orang-orang yang mengenalnya secara dekat. Berbeda dengan mereka yang belum mengenalnya. Mereka akan menganggap Umar seperti manusia biasa.
Penilaian sekilas itu mereka kemukakan karena melihat sikap Umar yang begitu sangat sederhana dan wajar. Kesehariannya tak berbeda dengan orang biasa. Bahkan, bisa jadi lebih sederhana dari rakyat jelata. Namun, bagi yang telah mengenal Umar lebih jauh, akan mengetahui wibawa Umar. Khalifah Rasulullah saw yang kedua ini tak segan-segan menindak orang yang berbuat kesalahan, meski orang tersebut sudah lama bersahabat dengannya.
Suatu ketika Umar berjalan di depan beberapa sahabat Rasulullah saw. Tiba-tiba Umar menoleh dengan pandangan tajam. Dikisahkan oleh Mahmud Abbas Aqqad, seketika mereka yang berada di belakangnya gemetar hingga ikat pinggang hampir lepas. Tatapan mata Umar benar-benar memancarkan cahaya wibawa yang sangat luar biasa.
Pada saat berbeda, Umar pernah menggoyang-goyangkan badannya di atas tempat duduk seorang tukang cukur yang sedang memangkas rambutnya. Seketika tukang cukur itu gemetar melihat sikap Umar. Setelah selesai, Umar memberinya 40 Dirham.
Kewibawaan Umar benar-benar serasi dengan kekuatan jiwa dan tubuhnya. Kekuatan fisik dan bentuk tubuhnya yang kekar turut menopang kehebatannya. Tidak mengherankan jika ada musuh yang melihat tubuhnya, langsung gemetar. Sosok tubuh Umar tinggi besar. Jika duduk, Umar terlihat seperti orang yang sedang berada di atas hewan kendaraannya. Kegemarannya menunggang kuda tanpa pelana makin menonjolkan kekuatan fisiknya. Umar juga dikenal sebagai jago gulat yang sulit dikalahkan. Suaranya jelas terdengar ketika mengemukakan pendapat atau memberikan perintah.
Kepekaan indra Umar bin Khaththab sangat sensitif. Ia bisa membedakan semua rasa dan bau yang tidak mampu dibedakan oleh orang lain. Ketajaman perasaannya dibuktikan ketika salah seorang pembantunya menghidangkan segelas susu. Ia tidak langsung meminum susu itu lantaran mencium aroma yang tidak biasa. Ketika Umar menanyakan dari mana pembantunya mendapatkan susu itu, dijelaskan bahwa minuman tersebut diambil dari uang Baitul Mal lantaran hewan peliharaan milik Umar sudah tidak mengeluarkan susu lagi. Umar langsung menolak susu tersebut lantaran merasa tidak berhak meminumnya.
Kewibawaan itu yang menjadi modal Umar bin Khaththab saat diamanahi sebagai khalifah. Bahkan, kewibawaan ini tetap tersisa meski dirinya sudah wafat. Aisyah pernah menuturkan, ketika Umar masih hidup, ia biasa mendatangi makam ayahnya Abu Bakar yang berdampingan dengan makam Rasulullah saw. Kala itu, Aisyah biasa membuka bagian luar penutup kepalanya. Namun, ketika Umar meninggal dan dimakamkan di samping makam Abu Bakar, saat mengunjungi pemakaman itu, Aisyah tak pernah membuka penutup luar kepalanya. Ia merasa segan dengan Umar bin Khaththab meski sosoknya telah tiada.
Tentu yang membuat Umar memiliki kewibawaan demikian rupa, bukan semata karena fisiknya. Selain fisik, Umar juga dikenal dengan ketakwaan dan keadilannya. Ketakwaannya terpancar dari kekhusyuk-annya beribadah. Ia kerap dijumpai menangis tersedu-sedu hingga menyisakan bekas hitam di kedua pipinya. Keadilannya diakui semua orang. Ia tak segan-segan menghukum orang yang bersalah apapun kedudukannya. Ini yang menambah wibawa Umar.
Banyak fakta membuktikan, para pemimpin Muslim – dalam skala apa pun yang biasa melakukan Qiyamul Lail, akan disegani. Ucapannya didengar, perintahnya ditaati. Hal ini kita temukan pada para ulama dulu yang begitu disegani banyak orang. Para pimpinan pesantren, disegani banyak santri. Penjelasannya, ketakwaan mereka pada Allah benar-benar nyata.
Jika para pemimpin negeri ini telah kehilangan wibawa, wajar kalau kita bertanya: sejauh mana mereka mendekatkan diri pada Allah. Hal yang sama kita ajukan pada para orang tua. Kalau anak-anak sudah tidak segan dan menghormati orang tua mereka lagi, kita ajukan pertanyaan serupa : sejauh mana ibadah mereka pada Allah.
(Hepi Andi Bastoni, disadur dari Majalah Sabili No.24 th.XIV, 14 Juni 2007)  

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
Rsunara.Com © 2013. All Rights Reserved. Share on Blogger Template Free Download. Powered by Blogger
Top